Senin, 10 Januari 2011

PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH DALAM RANGKA MENUNJANG TERTIB HUKUM PERTANAHAN DI KANTOR PERTANAHAN DI KABUPATEN GOWA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia, tanah merupakan faktor yang sangat penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, lebih dari itu tanah juga mempunyai hubungan yang emosional dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bukan hanya dalam kehidupannya saja, untuk meninggalpun manusia masih memerlukan tanah sebagai tempat peristirahatan.
Manusia hidup senang serba kecukupan jika mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tentram dan damai jika mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hokum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.
Dewasa ini tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki nilai jual tinggi, di samping fungsinya sebagai sumber kehidupan rakyat, sehingga setiap jengkal tanah akan dipertahankan sampai ia meninggal dunia.

Dari kasus kasus baik yang diterima. Oleh Pemerintah, Opstib maupun yang hanya menjadi berita di surat surat kabar, pola sengketa berkisar; antara rakyat dan pemerintah atau antara rakyat dan swasta (yang didukung oleh orang orang pemerintah) mengenai besarnya ganti rugi; antara rakyat dan pihak perkebunan serta. kehutanan mengenai tanah garapan. Antara rakyat dan rakyat sendiri mengenai masalah pemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Bahwa sengketa sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara perantara, kecilnya ganti rugi atas tanah yang diambil, sudah banyak dibahas oleh berbagai pihak. Akan tetapi, pada hakekatnya sengketa sengketa tersebut juga bersumber dari perbedaan pandangan antara rakyat dan pemerintah mengenai apa yang dimaksud dengan “hak atas tanah”. Sengketa sengketa karena sebab ini bukanlah suatu hal yang baru. Seperti telah disinggung sebelumnya, sejak dahulu terdapat perbedaan antara perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah.
Sengketa kemudian meningkat jumlahnya karena pertambahan penduduk, tetap terbatasnya persediaan tanah dan maksud pemerintah untuk mengambil kembali areal areal perkebunan serta kehutanan. Pemerintah berpegang kepada ketentuan ketentuan yuridis formal dan memandang sebagian besar dari mereka yang mengerjakan tanah hanya berstatus penggarap belaka.
Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia menyebabkan tingginya lalu lintas peralihan hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika membutuhkan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya, memerlukan kepastian mengenai siapa sebenarnya pemilik sebidang tanah tersebut.
Ketidakpastian hukum menyebabkan kekhawatiran pihak-pihak yang akan menguasai sebidang tanah karena peralihan hak ataupun kreditur yang akan memberikan kredit dengan jaminan sebidang tanah.
Permasalahan ini sering terjadi pada waktu pemindahan hak atas tanah berlangsung, yang menyebabkan hak atas tanah berali dari seseorang kepada orang lain, misalnya pada saat jual beli, waris, hibah, tukar menukar dll (EffendiPerangin, SH, 1994:1). Hal ini merupakan perbuatan hukum dan mengakibatkan berpindahnya suatu hak atas tanah pada orang lain.

Dalam penjelasan UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah akan diselenggarakan secara sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu mendapat perhatian Pemerintah untuk melaksanakan pembenahan dan perbaikan tertib hokum pertanahan di bidang pendaftaran tanah terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan hak atas Tanah dimana pendaftaran tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa lalu seperti girik dan petuk sebagai alas hak sedangkan administrasi girik dan petuk tersebut secara prinsip sudah tidak ada.
Dalam penjelasan UUPA angka IV dikatakan bahwa usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah yaitu: Pasal 23, 32 dan 38 yang ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya demi terlaksananya tertib hokum Pertanahan
Berdasarkan uraian di atas dan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam menunjang tertib pertanahan di Kabupaten Gowa, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skiripsi  dengan judul “PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH DALAM RANGKA MENUNJANG TERTIB HUKUM PERTANAHAN DI KANTOR PERTANAHAN DI KABUPATEN GOWA”



B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan pokok
permasalahan sebagai berikut :
1.     Bagaimana pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan di kabupaten gowa ?
2.     Apakah ada hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan di kabupaten gowa ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a.     Untuk mengetahuai bagaimana pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan di kabupaten gowa
b.     Hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan di kabupaten gowa


2.     Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka diharapkan dapat bermanfaat:
a)    Bagi Penulis
1)    Dapat memperdalam pengetahuan penulis tentang pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan
2)    Sebagai persyaratan untuk kelulusan Studi Ilmu Pemern Konsentrasi Keagrariaan.
b)    Bagi Masyarakat
1)    Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
2)    Dapat dijadikan masukan kepada masyarakat mengenai arti pentingnya pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hokum  pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Gowa.
c)     Bagi Kantor Pertanahan
1)    Sebagai bahan referensi dan pertimbangan, khususnya mengenai pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan.
2)    Meningkatkan kwalitas pegawai agar dapat melaksanakan tugas sesuai dengan wewenangnya.
D.    Kerangka Konsep
Kegiatan Pendaftaran Tanah di Indonesia sejak penjajahan Belanda telah ada khususnya untuk mengelola hak-hak barat dan pada zaman awal kemerdekaan pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi :
1.     Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia
2.     Pembukuan hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah tersebut.
Melihat bentuk kegiatan pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa sistem pendaftran tanah pada saat itu adalah sistem pendaftaran akte (regristration of deeds) dimana Jawatan Pendaftaran Tanah pada saat itu hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan mencatat akte peralihan / pemindahan hak, tidak menerbitkan surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akte (akte eigendom dll).
Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran tanah berupa menjadi sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:
1)    Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
2)    Pendaftaran tanah meliputi:
a.       Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b.       Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c.        Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Perbedaan kewenangan dalam sistem pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas jelas tertuang dalam ketentuan angka 2 b dan c dimana pendaftaran tanah melakukan pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta pemberian surat-surat tanda bukti termasuk sertifikat tanah sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dalam ketentuan angka 2 huruf c di atas disebutkan surat tanda bukti yang diterbitkan sebagai alat bukti yang kuat bukan terkuat atau mutlak, hal ini berarti pendaftaran tanah di Indonesia menganut stelsel negatif dimana apabila sertifikat tanah telah diterbitkan atas nama seseorang dan ada pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang lebih berhak melalui putusan lembaga peradilan maka sertifikat tanah tersebut dapat dibatalkan yang kemudian diberikan kepada pihak yang lebih berhak.
Dalam penjelasan UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah akan diselenggarakan secara sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu mendapat perhatian Pemerintah untuk melaksanakan pembenahan dan perbaikan di bidang pendaftaran tanah terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan tanah-tanah adat dimana pendaftaran tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa lalu seperti girik dan petuk sebagai alas hak sedangkan administrasi girik dan petuk tersebut secara prinsip sudah tidak ada.
Dalam penjelasan UUPA angka IV dikatakan bahwa usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah yaitu: Pasal 23, 32 dan 38 yang ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepatian tentang haknya.
Pasal 23 (32/HGU dan 38/HGB) berbunyi :
1.     Hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain harus didaftarkan sesuai ketentuan pasal 19 UUPA
2.     Pendafataran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta syahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 19 UUPA ditujukan kepada Pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan Pendaftaran Tanah yang bersifat rechts kadaster, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Di dalam penjelasan UUPA disebutkan pula bahwa pendaftaran tanah didahulukan penyelenggaraannya di kota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara (Indonesia) tentunya yang dimaksud dalam Undang-Undang ini termasuk daerah hutan maupun laut (marine kadaster.)
Dengan kewenangan yang ada diharapkan Kementrian Agraria dapat mewujudkan tertib hukum, administrasi, penggunaan tanah dan pemeliharaan tanah serta terciptanya suatu lingkungan hidup yang nyaman bersih dan terjamin keberadaan sumber daya air bagi rakyat Indonesia.
Sesuai ketentuan pasal 19 UUPA untuk kepastian hak dan menjamin kepastian hokum hak atas tanah pelayanan pendafataran tanah di lapangan tidak dapat dipisahkan atau digabung dengan kegiatan lain pengukuran kadastral yaitu kegiatan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah dengan kegiatan pendaftaran hak serta pemberian surat-surat tanda bukti hak merupakan paket kegiatan yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu pasal 19 UUPA.
1. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.
Ketentuan dalam Perpres mengenai organisasi BPN merupakan suatu kemajuan dengan dibentuknya suatu Deputi baru mengenai Survei, Pengukuran dan Pemetaan. Kegiatan kedeputian ini khususnya untuk menunjang kegiatan BPN terutama kegiatan untuk penyediaan peta dasar maupun peta-peta tematik serta jaringan titik dasar teknik dalam rangka pelayanan pertanahan di BPN atau instansi lain yang memerlukan.
Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan pada prinsipnya tidak melakukan pengukuran kadastral karena kewenangan tersebut merupakan kewenangan Deputi yang membidangi Pendafataran Tanah. Kegiatan pengukuran kadastral adalah pengukuran yang berkaitan dengan hak atas tanah khususnya untuk kegiatan pengukuran bidang tanah yang kemudian dipetakan pada peta pendaftaran dan dibukukan pada daftar tanah.
Dari uraian di atas untuk percepatan penyusunan data penguasaan tanah dalam rangka menunjang percepatan dan tertib pemerintahan pensertifikatan tanah seharusnya pemerintah memprioritaskan kegiatan Deputi Survei, Pengukuran dan Pemetaan untuk membuat peta dasar skala besar dan peta bidang-bidang tanah maupun peta tematik lainnya secara digital.
Penerbitan  Peta digital tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengembangkan  sistem geografis dan sistem informasi di bidang pertanahan untuk terciptanya Sistem Pertanahan Nasional (Simtanas) yang berbasis bidang tanah.
Kegiatan Perpetaan dan pembukuan tanah yang merupakan kegiatan lanjutan dari pengukuran bidang tanah sangat diperlukan dalam rangka terciptanya kepastian hak dan tertib administrasi pertanahan. Bidang-bidang tanah yang telah diukur mengenai letak dan batas-batasnya dipetakan / dimasukkan ke dalam peta pendaftaran / kegiatan perpetaan dan bidang-bidang tanah tersebut dibukukan dalam suatu daftar yang disebut daftar tanah. Bidang-bidang tanah di dalam daftar tanah disusun berdasarkan nomor urut yaitu nomor identitas bidang atau NIB yang merupakan nomor identitas tunggal dari suatu bidang tanah (single identity number). Dalam daftar tanah dicantumkan pula mengenai siapa yang menguasai atau pemilik tanahnya serta asal / status tanah tersebut seperti tanah adat, tanah negara atau tanah yang telah memiliki sesuatu hak atas tanah termasuk data mengenai P4T (Penguasaan Pemilikan Pengunaan dan Pemanfaatan Tanah). Apabila data peta pendaftaran dan daftar tanah ini telah lengkap maka diharapkan pelayanan pertanahan dapat dilakukan lebih cepat dan lebih terjamin kepastian haknya serta tidak dibutuhkan lagi surat keterangan lurah atau kepala desa mengenai girik, petuk dan lain-lain yang sebenanrnya adalah bukti pembayaran pajak yang saat ini kegiatan pengadministrasian  girik dan petuk secara prinsip sudah tidak dilakukan.
Kegiatan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah yang disebut pula  dengan kegiatan fisik kadaster merupakan kegiatan untuk mendapatkan data awal yang sangat diperlukan untuk pelayanan di bidang pertanahan seperti yang telah diuraikan di atas.
2. Pendaftaran Hak dan Penerbitan Surat Tanda Bukti Hak AtasTanah
Dengan terbitnya ketentuan pasal 19 UUPA maka sistem pendafataran tanah di Indonesia berubah dari sitem pendafataran akte menjadi sistem pendafataran hak untuk itu diterbitkanlah peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA mewajibkan Departemen Agraria waktu itu untuk menerbitkan buku tanah sesuai dengan sistem Torens (Australia) yang dianut sistem pendafataran tanah Indonesia. Buku tanah adalah tempat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah, peralihan hak dan pembebanan hak maupun lahirnya hak atau hapusnya hak atas tanah yang sebelumnya kegiatan pendaftaran tanah tidak pernah melakukan hal tersebut.
Sebagai tuntutan sistem pendaftaran hak sesuai UUPA dimana buku tanah tempat mendaftarakan hak yang dialihkan atau dibebankan berdasarkan akte PPAT, maka  akte yang dibuat para PPAT haruslah dipastikan kebenaran formalnya sehingga Departemen Agraria/BPN perlu untuk menerbitkan blangko akte yang dapat dikontrol kebenarannya dengan kode dan nomor tertentu untuk menjamin kebenaran formal akte tersebut.
Kerangka konsep diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
(UU No.5/1960 / UUPA)
PMNA/BPN No. 3/1997 Ketentuan Pelaksanaan PeraturanH Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Hak Atas Tanah
Tertib Pertanahan
 













E.    Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.4 Dalam penulisan tesis penulis menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris. Menurut
Soerjono Soekanto, yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis tentang sejauh manakah suatu peraturan/perundang-undangan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif.
Dalam hal ini pendekatan tersebut digunakan untuk menganalisis secara kualitatif tentang pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan di kabupaten gowa
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa penelitian deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan sedangkan analitis berarti mengelompokkan, menghubungkan dan memberi makna pada  pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan
3. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel
a. Populasi
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, populasi adalah seluruh
obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.6 Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dalam rangka menunjang tertib hukum pertanahan di kantor pertanahan khususnya di wilayah Kabupaten sebanyak 3(tiga) orang. Oleh karena itu dengan menggunakan populasi tersebut akan diperoleh data yang akurat dan tepat dalam penulisan skiripsi ini.
b. Teknik Penentuan Sampel
Penarikan sampel merupakan suatu proses dalam memilihsuatu bagian dari suatu populasi yang berguna untuk menentukan bagian-bagian dari obyek yang akan diteliti. Untuk itu, untuk memilih sampel yang representatif diperlukan teknik sampling.
Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakan oleh penulis adalah teknik purposive-non random sampling maksud digunakan teknik ini agar diperoleh subyek-subyek
yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian dilakukan pada pemberian hak atas tanah Berdasarkan sample tersebut diatas maka yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :
1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Gowa
2) 3 orang mengajukan permohonan hak milik  tanah untuk rumah tinggal yang telahdibelinya dari Pemerintah;
3) 3 orang belum mengajukan permohonan hak milik atas tanah
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisa sesuai dengan yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulismmenggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Data Primer
        Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari pemohon, melalui :
Wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya
langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan tahapan yang harus ditempuh, agar pemohon dapat memperoleh Hak atas tanah untuk Rumah Tinggal dari Pemerintah termasuk kepastian
hukum pemberian hak  atas tanah untuk pemohon dari Pemerintah termasuk serta hambatan-hambatan yang muncul dalam pemberian hak atas tanah untuk pemohon dari Pemerintah
dan cara mengatasinya.
        Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai pedoman tetapi dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang mendukun keterangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari perpustakaan dan koleksi pustaka pribadi penulis yang dilakukan dengan cara studi pustaka atau literatur. Data sekunder yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer, yang terdiri dari :
1) Bahan-bahan hukum primer, meliputi :
a) Undang-Undang :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria;
b) Peraturan Pemerintah, meliputi :
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
c) Peraturan Menteri :
(1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
 (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara.
(3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi :
a) Buku-buku mengenai Pendaftaran Tanah, Hukum Agraria Indonesia Sejarah dan Perkembangannya, buku tentang Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, dala penulisan tesis ini juga digunakan Kamus Besar Bahas Indonesia;
b) Makalah dan Artikel, meliputi makalah mengenai pertanahan yang merupakan hasil dari Lokakarya Persiapan Pembentukan Komite Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.
3) Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi pustaka pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu        dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Atas Tanah
1. Sebelum Berlakunya UUPA
a. Hukum Tanah Barat
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, terdapat dualisme atau bahkan pluralisme di bidang pertanahan baik mengenai hukumnya, hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah. Dualisme dalam hukum tanah bukan disebabkan karena para pemegang hak atas tanah berbeda hokum perdatanya melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya.
Keadaan hukum tanah berstruktur ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis yang berlaku bagi golongan pribumi dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan hukum tertulis yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Hukum tanah barat bersumber pada kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Berhubung 2d8ia nutnya asas konkordasi maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan konkordan dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang menganut konsepsi individualistik, oleh karena bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka hukum tanah barat juga landasan konsepsinya individualistik.
Konsepsi individualistik tersebut berpangkal dan berpusat pada hak individu atas tanah yang bersifat pribadi semata-mata. Hal tersebut tercermin pada rumusan hak individu tertinggi, yang dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut hak eigendom.9 Hak eigendom sebagai hak individu tertinggi, sekaligus juga merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tanah barat.
b. Hukum Tanah Adat
Diberlakukannya hukum tanah adat yang tidak tertulis bagi
golongan pribumi, selain hukum tanah barat yang tertulis bagi golongan Eropa dan Timur Asing merupakan manifestasi dari aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. Hukum Adat, khususnya hukum tanah adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam berlakunya tergantung dari basis social yang mendukungnya yaitu masyarakat itu sendiri. Namun demikian dalam berlakunya mendapat pengaruh dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat termasuk pengaruh dari kekuatan politik dimana sebagian diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian sekalipun sebenarnya berlakunya hukum adat khususnya hukum tanah adat dalam masyarakat tidak tergantung pada ketentuan perundangan sebagai hukum tidak tertulis tapi dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari rumusan Pasal-Pasal perundangan yang mengatur persoalan tersebut.
Sama halnya dengan hukum tanah barat, hukum tanah adat juga mengatur mengenai hukumnya, hak-hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah. Hak tanah-tanah adat antara lain hak ulayat, hak milik adat, hak gogolan dan hak memungut hasil/hak menikmati.Hukum tanah adat berkonsepsi komunalistik yang mewujudkan semangat gotong royong dan kekeluargaan yang diliputi suasan religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau geneologik. Hak-hak perseorangan atas tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bersama. Oleh karena itu, biarpu sifatnya pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya namun sekaligus terkandung unsur kebersamaan.
2. Hak Milik Menurut UUPA
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) pada dasarnya telah menghapus system hukum pertanahan yang bersifat dualistis. Di satu pihak UUPA telah mencabut berlakunya peraturan perundang-undangan pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda, baik yang bersifat hukum publik seperti Agrarische Wet, Agrarische Besluit dan lain-lain, maupun yang bersifat hukum privat mengenai bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan beberapa pengecualian yang diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia. Di lain pihak UUPA telah memilih hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional seperti yang termuat dalam konsideran dan telah dirumuskan dalam Pasal 5 UUPA.
Hukum agraria nasional yang telah berhasil diwujudkan oleh UUPA menurut ketentuannya didasarkan pada hukum adat, yang berarti hukum adat menduduki posisi yang sentral di dalam sistem hukum agrarian nasional.
a. Pengertian dan Sifat Hak Milik
Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan Hak Milik
adalah:
Hak turun- temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak Eigendom. Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
1) Turun-temurun;
Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
2) Terkuat;
Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-hak atas tanah yang lain.
3) Terpenuh;
Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan
untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
4) Dapat beralih dan dialihkan;
5) Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan;
6) Jangka waktu tidak terbatas.
b. Subyek dan Obyek Hak Milik
Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai Hak Milik adalah :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP No. 38 Tahun 1963 yang meliputi :
1.Bank-bank yang didirikan oleh Negara;
1.     Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;
2.     Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria aetelah mendengar Menteri Agama.
Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA, menentukan bahwa:
“Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.
Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa :
“selama seseorang disamping kewarganegaraanIndonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 Pasal ini”.
Dengan demikian yang berhak memiliki hak atas tanah dengan Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia tunggal dan Badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui PeraturanPemerintah.
c. Terjadinya Hak Milik
Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana diatur dalam ayat (1), Hak Milik dapat terjadi karena :
1)    Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
2)    Ketentuan undang-undang.
Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa :
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada Hukum Agama “.
d. Hapusnya Hak Milik
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus oleh karena sesuatu hal, meliputi ;
1) Tanahnya jatuh kepada negara oleh karena:
a. pencabutan hak; (UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya);
b. penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; (KEPPRESNo.55  Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum)
c. diterlantarkan; (PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar);
d. ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).
2) Tanahnya musnah.
Hak milik atas tanah adalah bagian dari hak-hak kebendaan yang dijamin dalam konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua, dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 28 g :
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28 h :
Setiap orang berhak mempunyai Hak Milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.

Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut :Pasal 4 ayat (2) :
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini member wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undangundang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian pada Pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak
atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
.
Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada
hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Menurut Djuhaendah Hasan,13 Asas pemisahan horisontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu. Asas pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA.

B. Pendaftaran Tanah
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
Dahulu pendaftaran tanah disebut “kadaster” yang berasal dari bahasa latin “Conpistarium” yang berarti suatu daftar umum mengenai nilai serta sifat dari benda – benda tetap. Selain istilah kadaster dapat pula dirumuskan sebagai berikut :
1. Tugas (fungsi) tertentu yang harus diselenggarakan oleh pemerintah yaitu suatu pembukuan mengenai pemilikan tanah yang diselenggarakan dengan daftar - daftar dan peta – peta yang dibuat dengan mempergunakan ilmu ukur tanah.
2. Badan (organ) pemerintah yang harus menjalankan tugas tertentu, yaitu dengan peta – peta dan daftar –daftar memberikan uraian tentang semua bidang tanah yang terletak dalam suatu wilayah negara.
Ada juga kadaster dengan kekuataan bukti yang dengan peta – peta yang
membuktikan batas – batas bidang tanah yang ditetapkan didalamnya
sebagai batas yang sah menurut hukum. Suatu kadaster dikatakan
mempunyai kekuatan bukti yang tetap apabila dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1. Batas - batas yang diukur dan dipetakan pada peta – peta kadaster itu adalah batas – batas yang sebenarnya (penetapan batas berdasarkan kontradiktur deliminasi).
2. Batas – batas yang telah diukur dan dipetakan pada peta – peta kadaster harus dapat ditetapkan kembali dilapangan sesuai dengan keadaannya pada waktu batas - batas itu diukur.
Dalam hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah ini tidak dikenal, keberadaan lembaga pendaftaran tanah ini dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang sudah berubah situasi dan kebutuhannya. Hak-hak atas tanah dibukukan dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai tanda bukti pemilikan tanahnya. Pemindahan hak, seperti jual beli, tukar menukar dan hibah yang telah selesai dilakukan, diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
Hal itu dimaksudkan untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta PPAT, yang telah membuktikan terjadinya pemindahan hak yang dilakukan. Disebutkan pula
dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah :
“rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,yang berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Lembaga pendaftaran ini tidak dikenal dalam hukum adat karena semula memang tidak diperlukan dalam lingkungan pedesaan, yang lingkup territorial maupun personalnya terbatas. Dalam lingkungan pedesaan demikian para warganya saling mengenal dan mengetahui siapa yang mempunyai tanah yang mana dan siapa yang melakukan perbuatanperbuatan hukum mengenai tanah miliknya, yang kenyataannya memang tidak sering terjadi.
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Undang – Undang Pokok Agraria adalah sebuah Undang – undang yang memuat dasar – dasar pokok di bidang agraria yang merupakan landasan bagi usaha pembaruan hukum agraria guna dapat memberikan
jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi tanah dan hal – hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan tanah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Undang – Undang Pokok Agraria telah mengatur pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat 1, yang berbunyi :
untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”.
Pendaftaran tanah tersebut dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria ayat (1) meliputi :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
2. Pendaftaran hak – hak atas tanah dan peralihan hak – hak tersebut.
3. Pemberian surat – surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai tanah harus diketahui dimana letaknya, bagaimana batas – batasnya, berapa luasnya, bangunan dan tanaman apa yang ada diatasnya, status tanahnya, siapa pemegang haknya dan tidak adanya pihak lain.
Selanjutnya sebagaimana diketahui bahwa pendaftaran tanah yang diperintahkan Pasal 19 Undang – Undang Pokok Agraria adalah untuk menjamin kepastian hak dan kepastian hukum, yaitu pendaftaran tanah dalam arti pendaftaran hukum atau recht cadastre atas tanah, sedangkan
untuk peraturan pelaksananya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri 3/1997.
3. Obyek Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendaftarkan bidang-bidang tanah tertentu, sehingga dari defenisi diatas
dapat kita ketahui bahwa tanah merupakan objek dari pendaftaran tanah itu sendiri. Ruang lingkup pendaftaran tanah itu sendiri selalu mengenai tanah dalam berbagai macam jenisnya, bentuk tanda buktinya, yang didaftar dan juga penyajiannya dalam bentuk apa. Sehingga keseluruhan dari bentuk objek tanah tersebut didaftarkan, sehingga dapat diketahui statusnya. Sedangkan untuk jenis-jenis bidang tanah yang didaftar adalah bidangbidang tanah :
1. Tanah Hak.
Termasuk dalam Tanah Hak :
a. Hak Milik.
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.
e. Hak Tanggungan.
Bukan termasuk Tanah Hak adalah :
a. Hak Pengelolaan.
b. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
c. Wakaf.
4. Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah system pendaftaran hak (registration of titles) sebagaimana yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan system pendaftaran akta. Hal ini dapat diketahui karena digunakannya buku tanah sebagian dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai tanda bukti hak. Sedangkan dalam pendaftaran hak atas tanah baru, memberikan hipotik kepada kreditur dan memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain, mempergunakan sistem dimana yang didaftar adalah perbuatan-perbuatan hukum tersebut atau disebut juga penyerahan yuridis atau juridis levering. Perbuatan hukum itu dibuat aktanya oleh Notaris/PPAT, inilah yang disebut sistem pendaftaran akta (registrarion of deeds).
Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Yaitu sistem negatif yang mengandung unsur
positif, karena akan menghasilkan surat – surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.Bukan sistem publikasi yang murni, sistem publikasi yang murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.
Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam Pasal-Pasal UUPA
tersebut bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat. Sebagaimana yang akan dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur pengumpulan sampai dengan penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta penerbitan sertipikat dan pemeliharaannya. Biarpun system publikasinya negatif tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.mHak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat mengenai data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa pembukuan dalam buka tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, diterbitkan sertipikat sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang
telah didaftar dalam buku tanah.
5. Sertipikat Hak Atas Tanah.
Berdasarkan pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang-Undang Pokok Agraria dalam pengertian sertipikat, yaitu pemberian surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenaranya, maka keterangan     yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya. Jadi sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya.
Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak
dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan
haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah sebagai alat pembuktian
kepemilikan hak atas tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar